Asal Usul Nama Banyumas


Budaya Banyumas



Sebagaimana lazimnya sebuah daerah, Banyumas memiliki sejarah panjang yang membentuk daerah tersebut hingga menjadi saat ini. Sejarah Banyumas umumnya bisa ditelusuri melalui kisah Babad Pasir dan Babad Banyumas yang menyebutkan bahwa daerah Banyumas sebelumnya merupakan bagian dari kadipaten Pasirluhur dan juga kabupaten Wirasaba.

Sebagai suatu wilayah pemerintahan, Banyumas diyakini terbentuk pada abad ke-16, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang. Pemerintah Banyumas sendiri menetapkan, bahwa sejak tahun 2016 hari jadi Banyumas adalah tanggal 22 Februari setelah pengkajian sejarah tentang asal usul kabupaten Banyumas.

Tidak hanya di bidang kebudayaan saja, kabupaten Banyumas juga memiliki keunikan di sisi administrasi wilayah, di mana kabupaten Banyumas memiliki dua alun-alun, dua penjara, dua pengadilan, dan kejaksaan serta dua pengadilan agama yang masih beroperasi. Hal ini terjadi lantaran adanya penggabungan antara kabupaten Banyumas dan Purwokerto karena terjadinya ‘malese’ atau krisis moneter pada 1837 yang membuat Belanda kehabisan biaya untuk mengatur pemerintahan di wilayah yang dikuasainya. Hal ini juga tak lepas dari Pecahnya Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 menjadi pemicu lepasnya wilayah Karesidenan Banyumas dari pemerintahan Surakarta (Solo). Perang yang berlangsung selama lima tahun ini memakan biaya sangat tinggi di kubu penjajah.

Belanda mengklaim, biaya perang tersebut memakan dana hingga 30 juta gulden dan biaya militer sebanyak 2 juta gulden. Perang tersebut juga menewaskan tentara Belanda sebanyak 8.000 orang dan di kubu pejuang pribumi mencapai 7.000 orang.‎ Karena biaya perang yang sangat tinggi, Belanda tidak mau memikul sendiri. Biaya tersebut juga dibebankan ke pemerintah Solo dan Yogyakarta‎. Namun karena dua pemerintahan tersebut juga tidak memiliki uang, kemudian Belanda meminta sebagian wilayah menjadi barang gadaian untuk ganti biaya perang.

Sejak dipegang Belanda, selanjutnya wilayah tersebut dibentuk menjadi karisidenan yang dipimpin seorang asisten residen dari Belanda. Karisidenan Banyumas sendiri terdiri dari lima wilayah, yaitu Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Ajibarang, dan Majenang yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati.

Karena wilayah Majenang bupatinya sakit ingatan hingga membunuh karyawannya selanjutnya dia diasingkan. Pada tahun 1831 pemerintahan Majenang digabung dengan Ajibarang. Wilayah Kabupaten Ajibarang yang saat itu kerap terjadi bencana alam puting beliung membuat Bupati Ajibarang khawatir. Selanjutnya dengan disetujui oleh asisten residen dan pemerintah Batavia, Kabupaten Ajibarang dipindah ke Purwokerto hingga kemudian menjadi Kabupaten Purwokerto.

Oleh karena itu, Belanda akhirnya memutuskan untuk mengurangi satu kabupaten di tiap-tiap karesidenan yang berada di Pulau Jawa.‎ Di Karesidenan Banyumas, Belanda menggabungkan Kabupaten Purwokerto dan Kabupaten Banyumas dengan menghapus Kabupaten Purwokerto.

Penggabungan dua pemerintahan besar ini ternyata tidak hanya memindahkan roda pemerintahannya saja. Namun sekaligus gedung pendapa (masih bernama Seketeng) kabupaten juga dipindahkan (dikenal dengan sebutan boyongan) ke Purwokerto.

Dengan dihapuskannya Kabupaten Purwokerto menjadi Kabupaten Banyumas, maka Purwokerto sekaligus ditetapkan juga sebagai ibu kota kabupaten dan ibu kota karisidenan.

Banyumas Bae ©2018 | Avant-garde